BerharapHanya Kepada Allah Diposkan pada September 20, 2021 oleh admin Ali bin Abi Thalib pernah berkata, "Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup, dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia." Allah SWT akan selalu menyandingkannya dengan kebaikan.
BerharapHanya Kepada Tuhan. Bacaan Ayat: Ratapan 3:24 Banyak orang berlomba untuk mengumpulkan barang terbaru, pada akhirnya hanya menumpuk barang yang usang. Pencariannya tidak pernah berhenti. Semakin banyak yang disimpan, justru semakin tidak puas dalam menikmati apa yang ada. Kota megah yang disebut sebagai Kota Allah harus rata
Danhanya kepada Rabb-mu hendaknya kamu berharap Pernahkah kita berdoa meminta pada Allah Subhanahu wa Taala. Sahabat berharap kepada Allah merupakan salah jenis ibadah yakni ibadah hati selain itu berharap kepada Allah juga merupakan ibadah yang istimewa sebab ibadah ini dapat dilakukan tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga ringan udah dan
Sahabat berharap kepada Allah merupakan salah jenis ibadah yakni ibadah hati, selain itu berharap kepada Allah juga merupakan ibadah yang istimewa, sebab ibadah ini dapat dilakukan tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga, ringan, ,udah dan dilakukan dengan cara melibatkan perasaan hati kita.
BerharapHanya kepada Allah - Ustadz Lalu Ahmad Yani, Lc. - Ceramah Agama. By. Yufid.TV - April 30, 2022. 180. 0. Share on Facebook. Tweet on Twitter. Berharaplah pada Allah saja balasannya Jangan pernah berharap pada manusia Engkau akan kecewa. #berharapkepadaAllah #ceramahagama #yufidtv *
KisiKisi Khutbah Jum'at ===== BERHARAP KEADILAN HANYA PADA SYARIAH ISLAM 1. Nasihat taqwa 2. Keadilan adalah dambaan setiap insan - Keadilan seharusnya tidak boleh memihak - Ketidakadilan menimbulkan kezaliman - Apakah yang terjadi saat ini ? 3. Sebab ketidakadilan di negeri ini - Pertama, Sistem hukum dan peradilan di negeri ini dilandasi oleh sistem hukum sekuler - Sistem sekuler telah
Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap." (QS. Al-Insyrah: 8) Jangan mengadu dan meminta sesuatu kebutuhan/hajat selain kepada Allah Swt, sebab Ia sendiri yang memberi dan menurunkan kebutuhan itu kepadamu.
KarenaDia-lah sebenarnya yang dituju dalam amal ibadah dan pada-Nyalah tempat-tempat tinggal diri. Apalagi kita manusia yang tak luput dari dosa, tidak mungkin berharap kepada manusia lainnya yang juga penuh dosa, maka berharaplah hanya kepada Allah. Allah Swt berfirman dalam Surah Al Imran yang artinya:.
Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang sebab dari pada Nyalah harapanku" (Mazmur 62: 6). Harapan, pengharapan adalah milik manusia yang paling penting dan berharga. Harapan adalah sebuah kekuatan, sebuah power yang memungkinkan manusia melangkahkan kakinya menyusuri lorong-lorong waktu untuk menciptakan sejarah di pentas kehidupan.
Orangorang musyrikin di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun tahu bahwa hanya Allah lah yang dapat mendatangkan kebaikan dan keburukan, namun mereka memohon dan berharap kepada selain Allah karena hawa nafsu mereka untuk mempertahankan kesalahan nenek moyang mereka.
Sayangnya sering kali terlalu berharap pada orang lain hanya berujung pada kekecewaan. Berikut kata-kata terlalu berharap pada orang lain. "Ketika hatimu terlalu berharap kepada manusia maka Allah timpakan ke atas kamu pedihnya sebuah pengharapan supaya kamu mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui hati yang berharap selain Dia. Maka
Dalam suatu hubungan, jangan terlalu berharap karena jika sesuatu tak sesuai harapan hanya kesedihan yang kamu dapatkan." "Jangan terlalu berharap pada seseorang yang belum pasti menyukaimu, namun hargailah mereka yang peduli denganmu." "Terlalu berharap akan menyakitimu, namun itu bukan alasan tuk menyesali diri. Ingat, sahabat selalu ada
Harapanitu mungkin didasari pada kekuatan, kekayaan, jabatan, kedudukan yang dimiliki atau berharap kepada orang lain untuk dapat membantu keluar dari masalah yang kita hadapi. Percayalah, jika pengharapan kita berdasarkan kekuatan kekayaan dan jabatan yang kita miliki atau berharap kepada orang lain, siap-siaplah kecewa menanti.
Allahmemerintahkan kita agar hanya kepada Allah saja hendaknya kita berharap. Oleh karena itu Imam Baihaqi menyebutkan dalam kitab beliau " Syu'ab Al Iman" bahwa berharap pada Allah merupakan cabang iman ke 12. Jadi kalau kita tidak berharap pada Allah atau sedikit harapan kita pada Allah berarti tidak sempurna imannya.
TikTokvideo from dksnoviana (@dksnoviana0): "jangan pernah berharap kepada siapapun di dunia ini, krn segalanya hanya pada Allah 😊". Don't expect from other, expect from Allah ️. suara asli - DANGDUT.KALEM.
IZdU. – Berharap kepada Allah, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memang satu-satunya tempat berharap. Bukan kepada manusia. Sekalipun mereka tampak cukup segala-gala, bukan berarti benar menjadikan mereka sebagai tempat berharap. وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ “dan hanya kepada Tuhanmu-lah, hendaknya kamu berharap,” demikian bunyi Qur’an surah Al-Insyirah ayat ke-8. Begitu juga dengan kata-kata Ali bin Abi Thalib. “Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup, dan yang paling pahit adalah berharap kepada manusia.” Tidak sedikit manusia yang bimbang, lantaran merasa hidupnya begitu penuh luka dan air mata. Rasanya sulit untuk bahagia. Namun, setelah muhasabah, berhasil menyadari, hati tak akan senantiasa bahagia, kalau pribadi masih bergantung kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebab, orang yang terjamin kebahagiaannya adalah ia yang sepenuhnya berserah kepada Allah. Allah yang akan selalu menjamin bahagia untuknya. Allah juga yang akan senantiasa mendekatkannya dengan kebaikan. Sang Maha Segala, tidak akan pernah mengecewakan hamba-hamba-Nya yang selalu menaruh harap, hanya kepada-Nya. Umat muslim akan makin mengerti arti kebahagiaan, bila ia telah menautkan hatinya kepada Allah. Kita juga akan selalu memeluk kedamaian hidup, jika tiap waktu mampu melekatkan segala kepada-Nya. Bila kita dekat dengan Allah–bukan hanya ketika sempit, tetapi juga saat lapang–maka apa pun yang terjadi, tak akan mencederai kedamaian. Kita juga akan terhindar dari sakitnya kecewa, yang biasa mereka rasa; mereka yang terbiasa berharap kepada selain Allah. Bagaimana kita bisa mendapat kebahagiaan secara utuh? Pandailah mencari Allah, bukan hanya saat susah. Bagaimana kita bisa mendapat ketenangan dalam hidup? Ketahuilah cara mengikat hati, agar tidak pernah melupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hati yang bahagia adalah hati yang selalu mengingat keberadaan Allah. Senantiasa menyadari bahwa Allah sangat dekat. Hati yang selalu sadar, bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan kita. Di sanalah, bahagia bersemayam. Kita juga harus senantiasa mengakui, bahwa bukan apa-apa, tanpa Allah Subhanahu wa Ta’ala. إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Demikian bunyi Qur’an surah Al-Baqarah ayat ke-218. Berharap kepada Allah? Bagaimana jika kita punya harapan? Islam mengajarkan siapa pun yang memiliki harapan untuk melakukan beberapa hal. Ikhtiar Pertama adalah berikhtiar memenuhi kebutuhan hidup. Baik materiel, spiritual, kesehatan, pun masa depan, agar selamat sejahtera, dunia dan akhirat. Ikhtiar harus berjalan sungguh-sungguh. Sepenuh hati. Semaksimal mungkin. Sesuai dengan kemampuan serta keterampilan kita. Kalaupun di tengah perjalanan usaha kita gagal, jangan berputus asa. Kita bisa introspeksi, mencoba dengan lebih keras lagi, atau menerapkan cara lain, selama tidak melanggar syariat. Sebab, mereka yang berhasil dan sukses di jalan Allah adalah mereka yang tidak berputus asa. Mereka tak gentar, terus berusaha dengan niat yang ikhlas, yakni menggapai ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala. Doa Bukan hanya ikhtiar. Kita juga harus berdoa. Sebab, sekeras apa pun upaya, jika tidak berdoa, dari mana keberhasilan datang? Bukankah segala adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala? Doa adalah permohonan dari seorang hamba kepada Allah. Doa adalah inti ibadah, begitu mendalam. Bahasa Arab mengartikan doa sebagai permintaan atau permohonan. Harapan, permintaan, pujian kepada Allah. Di tengah pandemi Covid-19–yang belum juga usai hingga hari ini–doa menjadi senjata ampuh. Doa juga merupakan sarana bagi manusia, untuk menyatakan hajat serta keperluannya, kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah juga menyukai hamba-hamba-Nya yang mau berdoa dengan sungguh-sungguh. Memohon kepada-Nya, dengan kerendahan hati. Orang yang beriman juga selalu berprasangka baik kepada Allah. Itu mengapa ia terus berdoa. Sekalipun setelah menjalankan semua ikhtiar, masih sulit rasanya keluar dari masalah, orang beriman tidak akan beprasangka buruk kepada Allah. Tidak sedikit dari mereka berhasil sembuh dari sakit parah, bahkan ketika dokter telah memvonis, “Tidak lama lagi.” Baca Juga Janji Allah pada Bangsa Yahudi Kita juga bisa belajar dari kisah Nabi Musa alaihis-salam. Di saat–dikejar pasukan Firaun–ia dan kaumnya menghadapi jalan buntu, di depan laut merah. Satu-satunya yang Nabi Musa lakukan adalah berdoa dan berharap kepada Allah. Jawabannya? Allah membantu Nabi Musa dengan membelah laut merah itu, sehingga ia dan pasukannya dapat menyeberang, dan selamat. Kisah ini juga sekaligus menjadi bukti, betapa Allah akan mengabulkan doa hamba-Nya, sekalipun bagi kita situasinya sudah mustahil. Kita juga dapat mengambil pelajaran lain dari kisah istri Nabi Ibrahim alaihis-salam, yakni Siti Hajar. Ia harus berlari-lari dari Shafa ke Marwah. Berputar balik, berulang-ulang, mencari air untuk sang buah hati, Ismail alaihis-salam. Di saat semua usahanya tampak sia-sia, Allah mengabulkan doa Siti Hajar. Allah, menganugerahkan air zamzam yang berlimpah, melalui hentakan kecil kaki Ismail. Inti dari tulisan Ngelmu kali ini adalah mengingatkan–utamanya bagi kami pribadi–bahwa pada hakikatnya, segala sesuatu di dunia adalah bentuk kuasa Allah. Maka kita, di dunia ini, hanyalah seorang yang lemah, hina, dan tak punya apa-apa. Itu sebabnya, jangan pernah melupa, bahwa kita senantiasa membutuhkan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Terutama jika kita ingin hidup damai dan bahagia, berharaplah hanya kepada Allah. Kapan pun, di mana pun berada.
Oleh Salim A Fillah aku percayamaka aku akan melihat keajaibaniman adalah mata yang terbukamendahului datangnya cahaya“Aku”.Jawaban Musa itu terkesan tak tawadhu’. Ketika seorang di antara Bani Israil bertanya siapakah yang paling alim di muka bumi, Musa menjawab, “Aku”. Tapi oleh sebab jawaban inilah di Surat Al Kahfi membentang 23 ayat, mengisahkan pelajaran yang harus dijalani Musa kemudian. Uniknya di dalam senarai ayat-ayat itu terselip satu lagi kalimat Musa yang tak tawadhu’. “Kau akan mendapatiku, insyaallah, sebagai seorang yang sabar.” Ini ada di ayat yang keenampuluh mana letak angkuhnya? Bandingkan struktur bahasa Musa, begitu para musfassir mencatat, dengan kalimat Isma’il putra Nabi Ibrahim. Saat mengungkapkan pendapatnya pada sang ayah jikakah dia akan disembelih, Isma’il berkata, “Engkau akan mendapatiku, insyaallah, termasuk orang-orang yang sabar.”Tampak bahwa Isma’il memandang dirinya sebagai bagian kecil dari orang-orang yang dikarunia kesabaran. Tapi Musa, menjanjikan kesabaran atas nama pribadinya. Dan sayangnya lagi, dalam kisahnya di Surat Al Kahfi, ia tak sesabar itu. Musa kesulitan untuk bersabar seperti yang ia janjikan. Sekira duapuluh abad kemudian, dalam rekaman Al Bukhari dan Muslim, Muhammad Shallallaahu Alaihi wa Sallam bersabda tentang kisah perjalanan itu, “Andai Musa lebih bersabar, mungkin kita akan mendapat lebih banyak pelajaran.”Wallaahu A’lam. Mungkin memang seharusnya begitulah karakter Musa, Alaihis Salaam. Kurang tawadhu’ dan tak begitu penyabar. Sebab, yang dihadapinya adalah orang yang paling angkuh dan menindas di muka bumi. Bahkan mungkin sepanjang sejarah. Namanya Fir’aun. Sangat tidak sesuai menghadapi orang seperti Fir’aun dengan kerendahan hati dan kesabaran selautan. Maka Musa adalah Musa. Seorang yang Allah pilih untuk menjadi utusannya bagi Fir’aun yang sombong berlimpah justa. Dan sekaligus, memimpin Bani Israil yang keras itu, setelah ucapannya yang jumawa, Musa menerima perintah untuk berjalan mencari titik pertemuan dua lautan. Musa berangkat dikawani Yusya ibn Nun yang kelak menggantikannya memimpin trah Ya’qub. Suatu waktu, Yusya melihat lauk ikan yang mereka kemas dalam bekal meloncat mencari jalan kembali ke lautan. Awalnya, Yusya lupa memberitahu Musa. Mereka baru kembali ke tempat itu setelah Musa menanyakan bekal akibat deraan letih dan lapar yang menggeliang dalam sanalah mereka bertemu dengan seseorang yang Allah sebut sebagai, “Hamba di antara hamba-hamba Kami yang kamu anugerahi rahmat dari arsa Kami, dan Kami ajarkan padanya ilmu dari sisi Kami.” Padanyalah Musa berguru. Memohon diajar sebagian dari apa yang telah Allah fahamkan kepada Sang Guru. Nama Sang Guru tak pernah tersebut dalam Al Quran. Dari hadits dan tafsir lah kita berkenalan dengan telah akrab dengan kisah ini. Ada kontrak belajar di antara keduanya. “Engkau akan mendapatiku sebagai seorang yang sabar. Dan aku takkan mendurhakaimu dalam perkara apapun!”, janji Musa. “Jangan kau bertanya sebelum dijelaskan kepadamu”, pesan Khidzir. Dan dalam perjalanan menyejarah itu, Musa tak mampu menahan derasnya tanya dan keberatan atas tiga perilaku Khidzir. Perusakan perahu, pembunuhan seorang pemuda, dan penolakan atas permohonan jamuan yang berakhir dengan kerja berat menegakkan dinding yang nyaris minta kita belajar banyak dari kisah-kisah itu. Kita belajar bahwa dalam hidup ini, pilihan-pilihan tak selalu mudah. Sementara kita harus tetap memilih. Seperti para nelayan pemilik kapal. Kapal yang bagus akan direbut raja zhalim. Tapi sedikit cacat justru menyelamatkannya. Sesuatu yang sempurna’ terkadang mengundang bahaya. Justru saat tak utuh, suatu milik tetap bisa kita rengkuh. Ada tertulis dalam kaidah fiqh, “Maa laa tudraku kulluhu, fa laa tutraku kulluh.. Apa yang tak bisa didapatkan sepenuhnya, jangan ditinggalkan semuanya.”Kita juga belajar bahwa membunuh’ bibit kerusakan ketika dia baru berkecambah adalah pilihan bijaksana. Dalam beberapa hal seringkali ada manfaat diraih sekaligus kerusakan yang meniscaya. Padanya, sebuah tindakan didahulukan untuk mencegah bahaya. Ada tertulis dalam kaidah fiqh, “Dar’ul mafaasid muqaddamun alaa jalbil mashaalih.. Mencegah kerusakan didahulukan atas meraih kemashlahatan.”Dan dari Khidzir kita belajar untuk ikhlas. Untuk tak selalu menghubungkan kebaikan yang kita lakukan, dengan hajat-hajat diri yang sifatnya sesaat. Untuk selalu mengingat urusan kita dengan Allah, dan biarkanlah tiap diri bertanggungjawab padaNya. Selalu kita ingat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Sultan yang dimakan fitnah memenjarakan dan menyiksanya. Tapi ketika bayang-bayang kehancuran menderak dari Timur, justru Ibnu Taimiyah yang dipanggil Sultan untuk maju memimpin ke garis depan. Berdarah-darah ia hadapi air bah serbuan Tartar yang bagai awan gelap mendahului fajar hendak menyapu musuh terhalau, penjara kota dan siksa menantinya kembali. Saat ditanya mengapa rela, ia berkata, “Adapun urusanku adalah berjihad untuk kehormatan agama Allah serta kaum muslimin. Dan kezhaliman Sultan adalah urusannya dengan Allah.”Iman dan Keajaiban yang MengejutkanSubhanallah, alangkah lebih banyak lagi ibrah yang bisa digali dari kisah Musa dan Khidzir. Berlapis-lapis. Ratusan. Lebih. Tapi mari sejenak berhenti di sini. Mari picingkan mata hati ke arah kisah. Mari seksamai cerita ini dari langkah tertatih kita di jalan cinta para pejuang. Mari bertanya pada jiwa, di jalan cinta para pejuang siapakah yang lebih dekat ke hati untuk diteladani?Musa. Bukan Karena di akhir kisah Sang Guru mengaku, “Wa maa fa’altuhuu min amrii.. Apa yang aku lakukan bukanlah perkaraku, bukanlah keinginanku.” Khidzir hanyalah’ guru yang dihadirkan Allah untuk Musa di penggal kecil kehidupannya. Kepada Khidzir, Allah berikan semua pemahaman secara utuh dan lengkap tentang jalinan pelajaran yang harus ia uraikan pada Rasul agung pilihanNya, Musa Alaihis Salaam. Begitu lengkapnya petunjuk operasional dalam tiap tindakan Khidzir itu menjadikannya sekedar sebagai operator lapangan’ yang mirip malaikat. Segala yang ia lakukan bukanlah perkaranya. Bukan orang yang menyebut diri Sufi mengklaim, inilah Khidzir yang lebih utama daripada Musa. Khidzir menguasai ilmu hakikat sedang Musa baru sampai di taraf syari’at. Maka seorang yang telah disingkapkan baginya hakikat, seperti Khidzir, terbebas dari aturan-aturan syari’at. Apa yang terlintas di hati menjadi sumber hukum yang dengannya mereka menghalalkan dan mengharamkan. Ia boleh merusak milik orang. Ia boleh membunuh. Ia melakukan hal-hal yang dalam tafsir orang awwam menyimpang, dan dalam pandangan syari’at merupakan sebuah pelanggaran Al Qurthubi sebagaimana dikutip Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Barii, membantah tafsar-tafsir ini. Pertama, tidak ada tindakan Khidzir yang menyalahi syari’at. Telah kita baca awal-awal bahwa semua tindakannya pun kelak bersesuaian dengan kaidah fiqh. Bahkan dalam soal membunuh pun, Khidzir tidak melanggar syari’at karena ia diberi ilmu oleh Allah untuk mencegah kemunkaran dengan tangannya. Alangkah jauh tugas mulia Khidzir dengan apa yang dilakukan para Sufi nyleneh semisal meminum khamr, lalu pengikutnya berkata, “Begitu masuk mulut, khamr-nya berubah menjadi air!”Tidak sama!Kedua, setinggi-tinggi derajat Khidzir menurut jumhur ulama adalah Nabi di antara Nabi-nabi Bani Israil. Sementara Musa adalah Naqib-nya para Naqib, Nabi terbesar yang ditunjuk memimpin Bani Israil, seorang Rasul yang berbicara langsung dengan Allah, mengemban risalah Taurat, dan bahkan masuk dalam jajaran istimewa Rasul Ulul Azmi bersama Nuh, Ibrahim, Isa, dan Musa jauh lebih utama daripada Khidzir.“Hai Musa, sesungguhnya Aku telah melebihkan engkau dari antara manusia, untuk membawa risalahKu dan untuk berbicara secara langsung denganKu.” Al A’raaf 144Ketiga, Allah memerintahkan kita meneladani para Rasul yang kisah mereka dalam Al Quran ditujukan untuk menguatkan jiwa kita dalam meniti jalan cinta para pejuang. Para Rasul itu, utamanya Rasul-rasul Ulul Azmi menjadi mungkin kita teladani karena mereka memiliki sifat-sifat manusiawi. Mereka tak seperti malaikat. Juga bukan manusia setengah dewa. Mereka bertindak melakukan tugas-tugas yang luar biasa beratnya dalam keterbatasannya sebagai seorang keagungan para Rasul itu terletak pada kemampuan mereka menyikapi perintah yang belum tersingkap hikmahnya dengan iman. Dengan iman. Dengan iman. Berbeda dengan Khidzir yang diberitahu skenario dari awal hingga akhir atas apa yang harus dia lakukan –ketika mengajar Musa-, para Rasul seringkali tak tahu apa yang akan mereka hadapi atau terima sesudah perintah dijalani. Mereka tak pernah tahu apa yang menanti di mereka tahu hanyalah, bahwa Allah bersama mereka.
Ceramah Jangan Berharap Banyak Sama Makhluk Kita pasti pernah berharap siapapun. Misalnya berharap bantuan peningkatan honor? Berharap penawaran spesial jabatan? Berharap dicintai balik? Namun, apa yang kita rasakan ketika cita-cita tersebut tidak terwujud? Atau hanya menjadi lamunan semata? Pastinya kecewa, duka dan murka kan? Kenapa hal itu bisa terjadi? Mempunyai cita-cita dan harapan ialah hal yang wajar . Namun jika berharap lebih kepada Selain Allah, maka kita akan selalu mempertimbangkan itu bahkan sampai terobsesi dan lupa pada kenyataan. Jika telah lupa pada realita akan membuat logika sehat kita tertutup. Padahal realita tidak senantiasa indah. Bisa saja cita-cita tersebut sirna dan menciptakan tertekan dan kecewa. Lalu seharusnya apa yang harus dilakukan supaya tidak terlampau mengharapkan bantuan sama selain Allah? biar mencegah rasa kecewa dan marah? terlebih dikala impian selama ini tak menjadi realita? Rasa kecewa muncul apabila menggantungkan cita-cita yang terlalu tinggi pada orang lain. Padahal orang Lain memiliki kelemahan. Mereka sama seperti kita, makhluk tak berdaya tak berkekuatan kecuali atas izin Allah SWT. Karena itu mari kita minimalkan mengharap . Cukup Allah saja. Sayyidina Ali pernah berkata “Aku telah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit adalah berharap kepada manusia.” Ali bin Abi Thalib Imam Syafi’i berkata “Ketika kamu berlebihan berharap pada seseorang, maka Allah akan timpakan padamu pedihnya keinginan-keinginan kosong. Allah tak suka kalau ada yang berharap pada selain Dzat-Nya, Allah menghalangi cita-citanya agar beliau kembali berharap hanya terhadap Allah SWT.” Sebaik-baiknya berharap hanyalah kepada Allah Allah berfirman dalam surat Al insyirah ayat 8 وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ “dan cuma kepada Rabb-mu hendaknya kamu berharap” Pernahkah kita berdoa meminta pada Allah Subhanahu wa Ta’ala? Allah SWT adalah Rabb sang Pencipta ummat insan dan seluruh makhluk di dunia ini. Dia Maha Mendengar Doa para hamba-Nya. Dialah Allah Khalik di alam semesta ini. Apabila seseorang cuma berharap kepada Allah, maka Inshaa Allah apapun balasannya, kita akan pasrah dan damai, alasannya adalah itu sudah kehendak-Nya. Seseorang akan menyerahkan seluruh urusannya kepada Allah. Sekalipun yang diterima bertentangan dengan apa yang diinginkannya. Firman Jangan Berharap Banyak dari Orang Lain, cukuplah pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu Alam.
– Berharap hanya kepada Allah SWT, tak akan membuat kita kecewa. Lain halnya, ketika kita menggantungkan harapan kepada manusia, kecewa dan hancur mungkin saja terjadi. Sebagaimana kata-kata Ali bin Abi Thalib yang mengatakan, “Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup, dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia.” Harapan adalah bagian dari fitrah manusia yang tidak mungkin ditinggalkan. Orang yang tidak memiliki harapan, pada hakekatnya adalah manusia yang mati, mengingat harapan merupakan titik awal manusia untuk selalu berkembang menuju kehidupan yang lebih baik. Berharap hanya kepada Allah SWT, merupakan ibadah hati yang begitu istimewa. Sebab, ibadah ini dapat dilakukan tanpa perlu mengeluarkan banyak tenaga, hanya melibatkan perasaan hati saja. Para ulama berkata, barang siapa yang tidak pernah berharap hanya kepada Allah SWT, maka ia adalah seorang hamba yang kosong. Sebab, ia merasa bahwa dirinya mampu melakukan semuanya tanpa melibatkan Sang Pencipta. Allah SWT berkata kepada seluruh hamba-Nya, “Wahai umatku, kalian adalah orang fakir kepada Allah”. Fakir yang dimaksud adalah, sangat membutuhkan Allah SWT, baik itu pertolongan-Nya, rahmat, serta kasih sayang-Nya. Tanpa campur tangan Allah, kita tak akan bisa melakukan sesuatu apa pun. Agar kita selalu menggantukan harapan kepada-Nya, mari simak beberapa keutamaannya berikut ini Raja’ yang berasal dari bahasa Arab, memiliki arti harapan. Adapun yang dimaksud raja’ pada pembahasan kali ini adalah, mengharapkan keridhaan Allah SWT dan rahmat-Nya. Raja’ merupakan salah satu akhlakuk karimah terhadap Allah SWT, yang manfaatnya dapat mempertebal keimanan dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Umat Islam yang mengharapkan ampunan dari Allah, berarti ia mengakui bahwa Allah itu Maha Pengampun. Begitupun bagi umat Islam yang mengharapkan agar Allah melimpahkan kebahagiaan di dunia dan akhirat, berarti ia telah meyakini bahwa Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Oleh karena itu, sudah sepatutunya, sebagai umat Islam kita berharap hanya kepada Allah SWT saja. Bahkan, Allah SWT telah memerintahkan kepada setiap hamba-Nya, agar berdoa kepada-Nya, dengan harapan doa tersebut akan dikabulkan. Allah Ta’ala berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu…” QS. Al-Mu’min, 4060 Setiap manusia yang berharap hanya kepada Allah, mereka akan mendapatkan hikmah dan keutamaan sebagai berikut 1. Optimis Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI optimis memiliki arti, orang yang selalu berpengharapan atau berpandangan baik terhadap segala sesuatu. Optimis merupakan sifat terpuji, yang semestinya dimiliki oleh setiap umat Islam. Seorang muslim yang optimis, tentu akan selalu berprasangka baik terhadap Allah. Mereka akan selalu berusaha agar kualitas hidupnya meningkat. Adapun kebalikan dari sifat tersebut adalah sifat pesimis. Sifat tersebut seharusnya bisa kita jauhi, karena termasuk ke dalam sifat tercela. Seorang yang memiliki sifat pesimis, kerap berprasangka buruk dengan segala hal, termasuk kepada Allah SWT. Dengan memelihara sifat pesimis, seseorang tidak akan dapat hidup maju. Sebab, mereka selalu khawatir akan kegagalan, kehancuran, kerugian, sehingga enggan untuk mencobanya. Umat Islam yang memiliki sifat optimis, biasanya akan berharap hanya kepada Allah. Sehingga mereka akan mendapatkan pertolongan dari-Nya. Allah SWT berfirman, “Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya.” QS. Ath-Thalaq, 65 3. 2. Dinamis Mereka yang selalu berharap hanya kepada Allah SWT, memiliki jiwa yang dinamis. Selama hidupnya, mereka enggan hanya berpangku tangan. Mereka akan berusaha secara sungguh-sungguh demi meningkatkan kualitas dirinya ke arah yang lebih baik. Sikap seseorang yang dinamis, sebenarnya sesuai dengan fitrah manusia, yang memiliki kecenderungan untuk meningkat ke arah yang lebih baik. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat dalam kehidupan.” QS. Al Insyiqaq, 84 19 Seorang muslim yang telah meraih prestasi, baik dalam bidang positif, hendaknya terus berusaha untuk meningkatkan prestasinya ke arah yang lebih baik. Hal ini sebagaimana yang dianjurkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an dan anjuran Rasulullah SWT dalam hadist-nya. Allah Ta’ala berfirman, “Maka apabila kamu telah selesai dari sesuatu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” 94 7-8 Rasulullah juga bersabda yang artinya, “Bararang siapa yang amal usahanya lebih baik dari kemarin maka orang itu termasuk orang yang beruntung, dan jika amal usahanya sama dengan kemarin, termasuk yang merugi, dan jika amal usahanya lebih buruk dari yang kemarin, maka orang itu termasuk yang tercela”. Tabrani 3. Berpikir Kritis Seseorang yang berpikir kritis, biasanya tidak lekas percaya dan selalu berusaha menemukan kesalahan, kekeliruan atau kekurangan. Kritik terdiri dari dua macam, ada yang terpuji dan ada pula yang tercela. Kritik terpuji adalah kritik yang sehat, dengan didasari niat ikhlas karena Allah SWT, tidak menggunakan kata-kata pedas, apalagi sampai menyakiti hati. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, berikut, “Yang dinamakan orang Islam, adalah orang yang menyelamatkan orang-orang muslim lainnya dari gangguan lidah dan tangannya, sedang yang dinamakan orang hijrah itu adalah orang yang meninggalkan semua larangan Allah.” HR. Bukhari, Abu Dawud, dan Nasa’i. 4. Mengenali Diri dengan Mengharap Keridaan Allah SWT Salah satu cara untuk berharap hanya kepada Allah SWT, adalah berusaha mengenali diri sendiri. Hal ini sesuai dengan pepatah yang terkenal di kalangan tasawuf, “Barangsiapa yang mengenal dirinya tentu akan mengenal Tuhannya”. Bagi setiap mukmin yang mengenali dirinya, tentu akan selalu introspeksi apakah dirinya sudah betul-betul menghamba kepada Allah SWT? Jika sudah, maka bersyukurlah dan tingkatkan kualitasnya. Jika belum, maka kembalikan ke jalan yang Allah SWT ridai. Mukmin yang mengenali dirinya akan menyadari bahwa ia hidup karena Allah dan bertujuan untuk memperoleh keridaan Allah. Mukmin yang ketika di dunianya memperoleh kerdiaan Allah, tentu di alam kubur dan alam akhiratpun akan memperoleh rida Allah SWT, ia akan terbebas dari siksa kubur dan azab neraka dan akan mendapatkan nikmat kubur serta pahala surga. Akibat dari Berharap kepada Selain Allah Setiap manusia, pastinya pernah menggantukan harapan selain kepada Allah SWT. Misalnya, beraharap kepada manusia lainnya. Berharap kepada manusia, sering kali berakhir dengan kekecewaan. Maka dari itu, kita dianjurkan untuk berharap hanya kepada Allah SWT. Sebab, jika tidak, kamu akan merasakan akibatnya sebagai berikut 1. Sakit Hati Ketika tidak berharap hanya kepada Allah, bukan tidak mungkin kamu akan merasakan sakit hati. Seperti halnya, kamu mengharapkan cinta dari manusia, tetapi pada akhirnya dia meninggalkanmu. Untuk itu, jangan pernah gantungan harapanmu kepada manusia. Lakukan semua hal atas dasar niat yang tulus. Selain itu, selalu libatkan Allah di dalamnya. 2. Tidak Dapat Menghargai Pencapaian yang Telah Dilakukan Saat kamu menggantungkan harapan kepada manusia, tapi pada akhirnya ekspektasi hanya sekadar angan. Hal tersebut hanya akan membuatmu sulit percaya atas kemampuan dan perjuangan yang telah dilakukan. Karena kamu tidak berharap hanya kepada Allah, maka kamu akan merasa menjadi manusia yang randah hanya karena ada satu hal yang tidak tercapai. 3. Menjadi Kurang Bersyukur Akibat tidak berharap hanya kepada Allah, menjadikanmu sebagai seseorang yang selalu mematokkan keberhasilan dari pencapaian orang lain. Sikap tersebut, tentunya akan membuatmu lupa, bahwa banyak nikmat dari Allah yang patut disyukuri. Allah selalu memberi kesempatan untuk setiap manusia agar berjuang dan bedoa kepada-Nya. Maka dari itu, berhenti untuk selalu berharap kepada manusia, dan berharap hanya kepada Allah SWT. Sebab, takdir Allah selalu lebih indah dari rencana kita. Ketika kamu sudah memasrahkan semuanya kepada-Nya, hatimu akan selalu tenang, meski kesulitan menghampiri. 4. Selalu Menyalahkan Diri Sendiri Rasa bersalah mungkin akan selalu menghampiri, ketika kamu terlalu berharap kepada selain Allah. Sebab, kamu belum mampu mewujudkan harapan tersebut. Padahal, jika kamu tidak berharap terlalu tinggi, ketika kegagalan menghampiri, justru kamu dapat menjadikannya sebagai pelajaran berharga. Selalu ingat, bahwa suatu saat manusia akan belajar dan menang. Ketika ikhlas dan pasrah kepada-Nya, kamu pasti akan menyadari, bahwa kegagalan hari ini adalah pembelajaran untuk jalan ke depan. Selalu introspeksi diri dan perbaiki kekurangan, agar dapat menjadi manusia yang lebih baik. 5. Trauma untuk Memulai Hal Baru Terlalu sering menaruh ekspektasi terhadap orang lain, hanya akan menimbulkan kekecewaan yang mendalam. Biasanya, kegagalan yang tidak tercapai, hanya akan membuatnya trauma untuk memulai hal baru. Rasa ketakutan akan hal buruk yang terjadi menghambat seseorang untuk berprogres kembali. Oleh karena itu, sebaiknya berharap hanya kepada Allah. Jika suatu saat harapanmu tidak sesuai ekspektasi, kamu tidak akan terlalu sakit dan kecewa. Sebab, kamu percaya, bahwa segala yang terjadi merupakan rencana terbaik-Nya. Setidknya, kamu dapat mengambil hikmah dari segala hal yang terjadi. Cara untuk Mewujudkan Sebuah Harapan Islam berpendapat, apabila seseorang memiliki harapan, maka mereka harus melakukan dua hal untuk mewujudkannya, yaitu 1. Ikhtiar Ikhtiar adalah sebuah usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya. Mulai dari spiritual, material, hingga kesehatan. Ikhtiar harus dilakukan dengan sepenuh hati dan semaksimal mungkin. Namun, jika usaha tersebut gagal, hendaknya kita tidak berputus asa. Kita sebaiknya mencoba lagi dengan lebih keras dan tidak berputus asa. Agar ikhtiar atau usaha kita dapat berhasil dan sukses, hendaknya melandasi usaha tersebut dengan niat ikhlas untuk mendapat ridha Allah, berdoa dengan senantiasa mengikuti perintah Allah yang diiringi dengan perbuatan baik. 2. Berdoa Selain berikhtiar, jangan pernah melupakan doa. Secara bahasa, doa berasal dari kata “Da’a” yang artinya memanggil. Sedangkan menurut istilah, syara’ doa berarti “Memohon sesuatu yang beramnfaat dan memohon terbebas atau tercegah dari sesuatu yang mudharat. Pada hakekatnya segala sesuatu di dunia ini merupakan bentuk dari kekuasan Allah SWT, jadi kita di dunia ini hanyalah seorang budak yang lemah, hina, dan tak punya apa-apa, Oleh karenanya kita membutuhkan pertolongan dari Allah SWT. Jadi, itulah ulasan mengenai berharap hanya kepada Allah. Islam sendiri, telah menganjurkan manusia untuk selalu berharap, tetapi berharap hanya kepada Allah, karena Allah adalah Tuhan yang maha kuasa atas segalanya. Sebagaimana firman berikut ini وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ “Dan hanya kepada Tuhanmulah Allah SWT hendaknya kamu berharap”. Qs Al Insyirah 8. Baca Juga 5 Solusi untuk Mengobati Rasa Sakit Hati Semoga kita adalah salah satu hamba yang selalu menggantungkan harapan hanya kepada Allah SWT.
berharap hanya pada allah